Kronologi 17 September 2012
Almarhumah bernama Hj.
Mayanah binti Yakub. Beliau adalah nenekku. Kami sebagai cucunya memanggilnya
dengan sebutan enya. Walaupun semestinya dalam adat betawi lumrahnya enya
berarti ibu, namun begitulah panggilan kami untuk nenek kami. Ya, enya berarti
nenek untuk kami.
Tepat hari senin
tanggal 17 September 2012 enya-ku wafat. Kabar itu datang pada malam selasa yang
kurasakan suasanya malam memang sedikit sendu, di kosanku yang tepat berada di
Ciputat. Selepas membaca Al-Qur’an aku termenung sejenak. Memang aku seperti
itu. Senang sekali termenung dan membuang waktu. Tidak lama kemudian tanganku
mulai meraih salah satu buku kuliah yang baru saja aku beli dari teman
sekelasku, buku Profesi Keguruan karya Prof. Soetjipto dan Drs. Raflis Kosasi. Aku
melihat-lihat isi buku tersebut dan mulai mencocokkannya dengan tugas makalah
yang nantinya harus kupresentasikan beberapa minggu mendatang. Ternyata cocok,
materiku ada disana. Aku senang. Notebook
biru sederhanaku mulai kuhidupkan dan seperti biasa aku kembali termenung tak
jelas….
Tiba-tiba handphone-ku berdering, disana tertera
nama Fam. Aji Office. Fam. berarti family, Aji berarti bapak (Bahasa Bali),
Office berarti kantor. Disebrang sana terdengar suara “Nenek udah engga ada
Ia”. Suara itu tegas, dan…klik. Sambungan terputus.
Batinku mengawang, maksud bapakku itu
apa? Nenek itu siapa? Aku tidak memiliki nenek. Kecuali hanya enya, dan aku
tidak memanggilnya dengan sebutan nenek. Tetapi enya.
Hatiku mulai
ketar-ketir. Jantungku mulai berdebar. Pikiranku kalut. Tubuhku gemetar. Apa maksud
dari perkataan bapakku? Apa yang terjadi di Jakarta Timur? Di rumahku ada kejadian
apa? Siapa nenek? Enya-ku kah?. Jemariku lincah mencari kontak-kontak mama,
adik, dan saudara-saudaraku. Ya, darahku mulai mendidih karena tak satupun dari
mereka mengangkat teleponku. Aku semakin takut. Pun sekali ketika sambungan
teleponku diangkat oleh Teh Pipit, sepupuku. beliau Yang sedang bekerja seperti
tidak tahu apa-apa. Dan aku memang sengaja tidak menceritakan kabar dari
bapakku. Aku takut semua ini belum tentu benar adanya. Nihil, pembicaraan belum
dapat hasil. Aku mulai menghubungi kakakku, Putri. Beliau pun demikian. Seperti
tidak tahu kabar yang ada. Oh Tuhan, Ya Allah Ya Rabbi…Muhammad Nabi…. aku
belum kehabisan akal, kuhubungi kembali nomor guruku MI sekaligus tetangga
rumahku, Ibu Etty.
“Hallo… Assalamu’alaikum…Ibu…. Ibu….”. Aku
berbicara tertahan, aku tak peduli bagaimana lagi nadanya hingga aku sadar
sedari tadi sudah menangis tersedu-sedu.
“Iya Po…. Kenapa?”, jawab Ibu Ety.
“Ibu…. Enya kenapa Ibu.?” tanyaku
menodong.
“Kenapa Enya, Po…?”. Baik. Aku
menyimpulkan bahwa beliau belum tahu kabar dari bapakku.
“Apa bener enya meninggal, Bu…?”.
“Lah, Ibu ga tau Po, coba Ibu tanya ke
reno dulu ya”.
“Iya Ibu…”.
Pembicaraan terhenti. Sambungan diputus.
Reno adalah tetangga ibu ety. Ya, reno juga adalah tetangga rumahku di Jakarta
Timur.
Tangisku berlanjut. Handphone kembali
berdering…
“Po…. iya Po, bener… enya udah engga ada
po”. jelasnya, hati-hati.
aku diam.
“Yang sabar ya Po,…”. Lanjutnya
“Iya Ibu, makasih ya Bu.
Assalamu’alaikum….”. Sambungannya kumatikan. Aku menangis. Menangis
sejadi-jadinya. Sekuat aku mampu menangis. Pada tiap-tiap linangan air mata, aku
menyaksikan kenangan-kenangan indah dalam hatiku. Ya Allah…. Ya Tuhanku…. Benarkah….
Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Sungguh….
puas aku menangis, kututup malam itu
dengan membacakan surat Yasin khusus untuk enyaku tercinta. tidurku terisak.
***
Keesokan harinya,
selasa pukul 04.00 WIB tepat aku terbangun dari tidurku. Memastikan apakah
kabar semalamm masuk dalam mimpi-mimpiku atau nyata. Tapi ternyata isak
tangisku masih tersisa. Sesekali aku sesenggukan. Mataku sayu, sembab, terasa
berat.
Cepat-cepat aku menguatkan
hati, merapikan tempat tidur dan mantap melangkahkan kaki ke kamar mandi. Aku mandi
sambil menunggu adzan shalat shubuh dikumandangkan. Setiap basuhan air mataku
menetes hingga aku selesai mandi.
***
Shalat shubuh kali ini
berbeda. Begitu sendu dan sedih. Masih saja aku menangis pelan. Aku merasa
lebih dekat dengan tuhanku. Aku lebih meminta pada tuhanku. Aku tak menyangka
di akhir shalat shubuh itu aku akan menyisipkan satu nama di belakang nama
kakekku H. Romli Bin H. Usman yaitu H. Mayanah Binti Yakub. Ya, itu nama nenek
atau enyaku. Doa itu mengalir begitu tulus dan syahdu. Aku berdoa seolah aku
meminta agar tuhan menghidupkan enyaku kembali, walau aku tahu itu tidak akan
mungkin. Betapa buta aku saat itu.
***
Kulipat mukena dan
sajadah. Kugantungkannya dengan rapih. Kupandangi keduanya dengan nanar. Begitu
kosong pandanganku. Aku merasa begitu rapuh. Kembali kuingat kenangan-kenangan
indah bersama enya….
Saat beliau merawatku di waktu aku kecil…
Saat beliau menimangku di dalam ayunan…
Ketika beliau menyuapiku…
Ketika beliau senang aku makan sangat
banyak…
Ketika beliau memberikan aku
makanan-makanan yang aku suka…
Sewaktu beliau bersenda gurau…
Membicarakan masalah kehidupan…
Masalah lelaki….
Masalah perjuangannya…
Pahitnya hidup…
Cerita beliau tentang tuhan… penghambaan
kepada tuhan…
Masih banyak sekali. Aku tak mampu
mengingat karena begitu banyak…. Aku terbuai dalam lamunan
***
Pukul enam aku meluncur
dengan jasa kendaraan bermotor, sang pengendara berjanji akan menempuh
perjalanan Ciputat-Rawa Kuning (Jakarta Selatan-Jakarta Timur) dalam waktu satu
jam. Ya, pukul tujuh. Sepanjang perjalanan aku menangis. Ya allah…
***
Ketika aku sampai tepat
di depan gang rumahku, terpasang bendera kuning. Begitu banyak ibu-ibu dan
bapak-bapak memasuki gang tersebut. Tangisku pecah. Isakku menjadi. Semakin
dalam kulalui gang sempit itu semakin jelas kulihat daun pintu rumah enyaku.
Rumah enyaku sesak dipenuhi oleh orang-orang yang bermaksud untuk menyelawat.
Hatiku terguncang. Kubekap mulutku kuat-kuat dengan sapu tangan yang sedari
kosan ku genggam erat untuk menyeka air mataku yang mengalir bersahaja.
Langkahku begitu gemetar, dan aku mulai menyusup diantara wanita renta. Jenazah
enyaku sedang dibacakan doa. Aku tau tangisku kencang meski mulutku tertutup
rapat sapu tangan. Kacamataku berembun. Rapat sekali orang. Mana enyaku. Aku ingin
bertemu enyaku.
Tangisku yang kencang
rupanya mengundang perhatian.oomku menghampiri, dan kami saling memandang tanpa
kata. Kami hanya mampu menangis. Oh tuhan…… ya allah ya rabbi…. Muhammad nabi….
***
Doa selesai dibacakan.
Aku kembali menyusup melewati para penyelawat. Kulihat sebujur tubuh terbaring
layaknya sedang tidur. Terbungkus kain batik yang masih pekat warnanya. Tubuh
itu tertutup rapat keculai bagian wajah. Tangisku pecah utnuk kesekian kalinya.
Aku mulai sesenggukan dahsyat. Aku menangis seperti layaknya meminta enya agar
bangun. Menyapaku. Ya allah ya tuhan….
Aku merasa begitu dekat…
beliau seperti masih ada disini. Beliau terlihat seperti tersenyum. Bibirnya
melukiskan senyum indah. Tak seperti biasanya seawktu beliau masih hidup. Kerut
di bagian atas bibirnya tidak seperti senyum kali ini.
Enya… ini riah enya…
Enya bangun…
Enya ini riah enya….
Enya…
Enya bangun…
Enya…
enyaku tidur begitu pulas…. Tak bangun
lagi.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih untuk komentar yang sopan dan tidak meyinggung SARA