Senin, 01 Oktober 2012

DUKA 17 September 2012


Kronologi 17 September 2012
-Ketika disisipkannya kata Almarhumah


Almarhumah bernama Hj. Mayanah binti Yakub. Beliau adalah nenekku. Kami sebagai cucunya memanggilnya dengan sebutan enya. Walaupun semestinya dalam adat betawi lumrahnya enya berarti ibu, namun begitulah panggilan kami untuk nenek kami. Ya, enya berarti nenek untuk kami.
Tepat hari senin tanggal 17 September 2012 enya-ku wafat. Kabar itu datang pada malam selasa yang kurasakan suasanya malam memang sedikit sendu, di kosanku yang tepat berada di Ciputat. Selepas membaca Al-Qur’an aku termenung sejenak. Memang aku seperti itu. Senang sekali termenung dan membuang waktu. Tidak lama kemudian tanganku mulai meraih salah satu buku kuliah yang baru saja aku beli dari teman sekelasku, buku Profesi Keguruan karya Prof. Soetjipto dan Drs. Raflis Kosasi. Aku melihat-lihat isi buku tersebut dan mulai mencocokkannya dengan tugas makalah yang nantinya harus kupresentasikan beberapa minggu mendatang. Ternyata cocok, materiku ada disana. Aku senang. Notebook biru sederhanaku mulai kuhidupkan dan seperti biasa aku kembali termenung tak jelas….

Tiba-tiba handphone-ku berdering, disana tertera nama Fam. Aji Office. Fam. berarti family, Aji berarti bapak (Bahasa Bali), Office berarti kantor. Disebrang sana terdengar suara “Nenek udah engga ada Ia”. Suara itu tegas, dan…klik. Sambungan terputus.
Batinku mengawang, maksud bapakku itu apa? Nenek itu siapa? Aku tidak memiliki nenek. Kecuali hanya enya, dan aku tidak memanggilnya dengan sebutan nenek. Tetapi enya.
Hatiku mulai ketar-ketir. Jantungku mulai berdebar. Pikiranku kalut. Tubuhku gemetar. Apa maksud dari perkataan bapakku? Apa yang terjadi di Jakarta Timur? Di rumahku ada kejadian apa? Siapa nenek? Enya-ku kah?. Jemariku lincah mencari kontak-kontak mama, adik, dan saudara-saudaraku. Ya, darahku mulai mendidih karena tak satupun dari mereka mengangkat teleponku. Aku semakin takut. Pun sekali ketika sambungan teleponku diangkat oleh Teh Pipit, sepupuku. beliau Yang sedang bekerja seperti tidak tahu apa-apa. Dan aku memang sengaja tidak menceritakan kabar dari bapakku. Aku takut semua ini belum tentu benar adanya. Nihil, pembicaraan belum dapat hasil. Aku mulai menghubungi kakakku, Putri. Beliau pun demikian. Seperti tidak tahu kabar yang ada. Oh Tuhan, Ya Allah Ya Rabbi…Muhammad Nabi…. aku belum kehabisan akal, kuhubungi kembali nomor guruku MI sekaligus tetangga rumahku, Ibu Etty.

“Hallo… Assalamu’alaikum…Ibu…. Ibu….”. Aku berbicara tertahan, aku tak peduli bagaimana lagi nadanya hingga aku sadar sedari tadi sudah menangis tersedu-sedu.

“Iya Po…. Kenapa?”, jawab Ibu Ety.

“Ibu…. Enya kenapa Ibu.?” tanyaku menodong.

“Kenapa Enya, Po…?”. Baik. Aku menyimpulkan bahwa beliau belum tahu kabar dari bapakku.

“Apa bener enya meninggal, Bu…?”.

“Lah, Ibu ga tau Po, coba Ibu tanya ke reno dulu ya”.

“Iya Ibu…”.
Pembicaraan terhenti. Sambungan diputus. Reno adalah tetangga ibu ety. Ya, reno juga adalah tetangga rumahku di Jakarta Timur.

Tangisku berlanjut. Handphone kembali berdering…
“Po…. iya Po, bener… enya udah engga ada po”. jelasnya, hati-hati.
aku diam.

“Yang sabar ya Po,…”. Lanjutnya

“Iya Ibu, makasih ya Bu. Assalamu’alaikum….”. Sambungannya kumatikan. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Sekuat aku mampu menangis. Pada tiap-tiap linangan air mata, aku menyaksikan kenangan-kenangan indah dalam hatiku. Ya Allah…. Ya Tuhanku…. Benarkah…. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Sungguh….

puas aku menangis, kututup malam itu dengan membacakan surat Yasin khusus untuk enyaku tercinta. tidurku terisak.
***

Keesokan harinya, selasa pukul 04.00 WIB tepat aku terbangun dari tidurku. Memastikan apakah kabar semalamm masuk dalam mimpi-mimpiku atau nyata. Tapi ternyata isak tangisku masih tersisa. Sesekali aku sesenggukan. Mataku sayu, sembab, terasa berat.
Cepat-cepat aku menguatkan hati, merapikan tempat tidur dan mantap melangkahkan kaki ke kamar mandi. Aku mandi sambil menunggu adzan shalat shubuh dikumandangkan. Setiap basuhan air mataku menetes hingga aku selesai mandi.
***

Shalat shubuh kali ini berbeda. Begitu sendu dan sedih. Masih saja aku menangis pelan. Aku merasa lebih dekat dengan tuhanku. Aku lebih meminta pada tuhanku. Aku tak menyangka di akhir shalat shubuh itu aku akan menyisipkan satu nama di belakang nama kakekku H. Romli Bin H. Usman yaitu H. Mayanah Binti Yakub. Ya, itu nama nenek atau enyaku. Doa itu mengalir begitu tulus dan syahdu. Aku berdoa seolah aku meminta agar tuhan menghidupkan enyaku kembali, walau aku tahu itu tidak akan mungkin. Betapa buta aku saat itu.

***
Kulipat mukena dan sajadah. Kugantungkannya dengan rapih. Kupandangi keduanya dengan nanar. Begitu kosong pandanganku. Aku merasa begitu rapuh. Kembali kuingat kenangan-kenangan indah bersama enya….

Saat beliau merawatku di waktu aku kecil…
Saat beliau menimangku di dalam ayunan…
Ketika beliau menyuapiku…
Ketika beliau senang aku makan sangat banyak…
Ketika beliau memberikan aku makanan-makanan yang aku suka…
Sewaktu beliau bersenda gurau…
Membicarakan masalah kehidupan…
Masalah lelaki….
Masalah perjuangannya…
Pahitnya hidup…
Cerita beliau tentang tuhan… penghambaan kepada tuhan…

Masih banyak sekali. Aku tak mampu mengingat karena begitu banyak…. Aku terbuai dalam lamunan

***

Pukul enam aku meluncur dengan jasa kendaraan bermotor, sang pengendara berjanji akan menempuh perjalanan Ciputat-Rawa Kuning (Jakarta Selatan-Jakarta Timur) dalam waktu satu jam. Ya, pukul tujuh. Sepanjang perjalanan aku menangis. Ya allah…

***
Ketika aku sampai tepat di depan gang rumahku, terpasang bendera kuning. Begitu banyak ibu-ibu dan bapak-bapak memasuki gang tersebut. Tangisku pecah. Isakku menjadi. Semakin dalam kulalui gang sempit itu semakin jelas kulihat daun pintu rumah enyaku. Rumah enyaku sesak dipenuhi oleh orang-orang yang bermaksud untuk menyelawat. Hatiku terguncang. Kubekap mulutku kuat-kuat dengan sapu tangan yang sedari kosan ku genggam erat untuk menyeka air mataku yang mengalir bersahaja. Langkahku begitu gemetar, dan aku mulai menyusup diantara wanita renta. Jenazah enyaku sedang dibacakan doa. Aku tau tangisku kencang meski mulutku tertutup rapat sapu tangan. Kacamataku berembun. Rapat sekali orang. Mana enyaku. Aku ingin bertemu enyaku.
Tangisku yang kencang rupanya mengundang perhatian.oomku menghampiri, dan kami saling memandang tanpa kata. Kami hanya mampu menangis. Oh tuhan…… ya allah ya rabbi…. Muhammad nabi….

***

Doa selesai dibacakan. Aku kembali menyusup melewati para penyelawat. Kulihat sebujur tubuh terbaring layaknya sedang tidur. Terbungkus kain batik yang masih pekat warnanya. Tubuh itu tertutup rapat keculai bagian wajah. Tangisku pecah utnuk kesekian kalinya. Aku mulai sesenggukan dahsyat. Aku menangis seperti layaknya meminta enya agar bangun. Menyapaku. Ya allah ya tuhan….
Aku merasa begitu dekat… beliau seperti masih ada disini. Beliau terlihat seperti tersenyum. Bibirnya melukiskan senyum indah. Tak seperti biasanya seawktu beliau masih hidup. Kerut di bagian atas bibirnya tidak seperti senyum kali ini.

Enya… ini riah enya…
Enya bangun…
Enya ini riah enya….
Enya…
Enya bangun…
Enya…

enyaku tidur begitu pulas…. Tak bangun lagi.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih untuk komentar yang sopan dan tidak meyinggung SARA